Salah seorang
teman kost saya seorang mahasiswa pascasarjana di salah satu universitas swasta
di Makassar. Ia juga bekerja sebagai
dosen di sebuah yayasan, di sebuah kabupaten berjarak 4 jam perjalanan
dengan mobil dari Makassar. Ia bekerja dari Senin hingga Rabu, dan selebihnya
menghabiskan waktu di Makassar untuk kuliah. Ia datang ke Makassar setiap Rabu,
meski ia bilang, ia kuliah hanya dua hari dalam seminggu, setiap Jumat dan
Sabtu. Hari Kamis ia gunakan untuk bersantai karena malas masuk kantor.
Setiap
datang, ia selalu membawa cerita-cerita baru. Sebagian besar tentang
pekerjaannya. Tentang kampus tempatnya mengajar, dan tentang bosnya—ketua yayasan
di kampus tempat ia mengajar tersebut. Ia selalu bercerita tentang bosnya
dengan rasa bercampur aduk. Kesal dan geli. Di saat ia bercerita dengan raut
wajah kesal, saya tertawa-tawa. Kisah yang ia ceritakan tak ubahnya bak kisah sinetron
komedi.
Bosnya,
pemilik yayasan, seorang wanita berusia lebih dari 40 tahun. Mungkin 50. Ia sedang
mengambil program Doktor di sebuah universitas swasta di Makassar. Tapi jauh-jauh
hari, sebelum gelar Doktor tersebut ia peroleh secara resmi, ia telah memakai
gelar itu dengan bangga. Dr. bla bla bla. Ia adalah seorang yang sangat bangga
dengan gelar akademik, senang mempermudah cara memperoleh gelar tersebut. (Saat
ini ia telah benar-benar memperoleh gelar tersebut secara resmi). Tapi meski
dengan gelar kehormatan itu, ia sama sekali tidak memiliki kemampuan dan
pengetahuan banyak di bidang akademik.
Kenapa teman
saya itu mengambil kesimpulan demikian? Sebab mata dan hati tak bisa dibohongi.
Doktor baru itu tak pandai menggunakan laptop dan berselancar di dunia
internet. Jika ia ingin mengetik sesuatu atau membuat power point, ia meminta
tolong pada bawahannya. Jika ia harus mengajar dan butuh materi, ia meminta
dosen-dosen bawahannya mencarikan bahan kuliah tersebut dari internet. Copy paste.
Pernah suatu ketika, saat ia harus menghadapi ujian kompetensi yang juga
berkaitan dengan gelar, ia minta izin pulang karena merasa sakit. Ia tak ikut
ujian. Tapi sebuah nilai bagus tetap tercetak untuknya entah dengan cara apa. Pernah
ada sebuah kejadian, ketika ia menghadap papan tulis, semua mahasiswa di belakangnya
berjingkat keluar kelas. Sejak saat itu ia kapok mengajar.
Ia memberi
label ‘kampus internasional’ pada kampus yang ia dirikan di bawah yayasannya
itu. Apa yang membuat ia percaya diri memberi label luar biasa tersebut? Sang bos
bilang, karena mahasiswa yang mendaftar di sana diwajibkan punya nilai TOEFL
dan TOEIC. Saya kaget mendengarnya. Unhas saja, yang universitas terbesar di
Indonesia Timur, hanya mensyaratkan TOEFL untuk mahasiswa pascasarjana. Tak ada
TOEIC. Bahkan di universitas luar negeri setahu saya, untuk calon mahasiswa
internasional, TOEIC tak diminta jika nilai TOEFL sudah memenuhi standar. Bagaimana
mungkin sebuah kampus swasta skala kabupaten mensyaratkan TOEIC?
Teman saya
bilang, ada dugaan sang bos ditipu. Barangkali. Bagaimana pun, ini hanya
dugaan. Pihak yang diundang untuk menyelenggarakan tes TOEFL tersebut berasal
dari Jakarta. Tak jelas lembaganya apa. Sebab di sertifikat yang diberikan
untuk calon mahasiswa baru, tak ada nama lembaga. Hanya ada tanda tangan dan
nama seseorang yang bertanggungjawab menyelenggarakan tes tersebut. Saya bilang,
kalau untuk menyelenggarakan tes TOEFL, Pusat Bahasa di Unhas adalah salah satu
lembaga resmi perwakilan ETS di Makassar. Tapi sang Sang bos senang dengan
hal-hal yang terdengar canggih. Jakarta lebih canggih dari Makassar. Apa pun
yang berbau Jakarta, pasti lebih bagus. Segala peralatan kampus didatangkan
dari Jakarta. Bahkan kertas sertifikat. Biar mahal yang penting dibeli dari
Jakarta, karena itu terdengar keren.
Soal TOEFL
itu, tak ada yang tak lulus tes. Semuanya dijamin lulus, bahkan meski hanya
memperoleh nilai 250. Ini hanya sebuah persyaratan resmi, untuk masuk sebuah
universitas swasta skala kabupaten berstandar internasional. Yang penting calon
mahasiswa membayar dan ikut tes. Itu saja.
Di kampus, sang bos tidak sekedar mengurusi
hal akademik. Bahkan persoalan pribadi para karyawan (dosen) ia urusi. Ia melarang
para dosen melanjutkan pendidikan. Alasannya, untuk apa kuliah tinggi-tinggi
kalau toh nanti setelah menikah ikut suami juga. Nah lho?! Ia melarang para
dosen pacaran karena katanya pacar bisa mengganggu pekerjaan di kampus. Ia pernah
memanggil teman saya itu menghadap hanya untuk memberitahu satu hal: “Kamu,
kalau punya pacar yang jabatannya tinggi jangan belagu. Gelar dan pangkat itu
hanya untuk di dunia. Tidak dibawa mati.” Teman saya terbengong-bengong. Ia tak
tahu mengapa sang bos memanggilnya hanya untuk mengatakan itu. Tiba-tiba saja, tanpa
ada angin atau pun hujan.
Suatu hari,
ia pernah memanggil satpam menghadap. Ia marah kepada satpam tersebut. Katanya,
“Kerjamu apa di kampus ini? kenapa sempritanmu tidak pernah bunyi?” Barangkali
ia pikir, tugas satpam hanya satu: membunyikan sempritan sepanjang hari. Di
hari lain, ia mengadakan rapat mendadak untuk dosen dan pegawai kampus. Rapat tersebut
membahas anak kuda kesayangannya yang baru mati. Sang bos menceritakan
kesedihannya kehilangan anak kuda sambil menangis.
Di kampus, ia
membayar seorang cleaning service. Tapi
sang CS hanya berleha-leha. Kerjanya tak seberapa, sebab ia tak diizinkan
membersihkan ruangan. Sang bos memberi jadwal piket untuk para pegawai kampus.
CS membersihkan bagian luar ruangan saja.
Saya selalu merasa
terhibur mendengar cerita teman saya itu. Saya sadar, sang bos tersebut hanya
satu di antara sekian banyak. Di Indonesia. Saya teringat pada sebuah
universitas di Jakarta, yang telah menerbitkan banyak sertifikat gelar untuk
banyak petinggi. Katanya, namanya Universitas Berkley. Konon, ini adalah perwakilan
resmi dari Universitas Berkley di Michigan, Amerika. Pemiliknya sudah
mengantongi izin menyelenggarakan pendidikan dan menciptakan gelar bagi yang
membutuhkan di Indonesia. Sementara di beberapa sumber disebutkan, Universitas
Berkley ini, di Amerika, tidak terakreditasi dan tidak diakui. Berbeda dengan
Universitas Berkeley, sebuah universitas keren di daerah California. Tapi Berkley
dan Berkeley jelas beda.
Masih jelas
pula bagaimana seorang peserta wisuda di Universitas Terbuka di Tangerang tak
tahu nama mata kuliah dan tak tahu jumlah IPKnya. Saya tidak tahu kampus itu
masuk wilayah Tangerang atau Jakarta Selatan. Saat berlalu-lalang dari Pamulang
ke Jakarta, saya sering melewati kampus itu. Wisuda palsu itu digerebek
Kementerian Pendidikan. Di Makassar, beberapa waktu lalu, puluhan kampus swasta
dinonaktifkan karena memperjualbelikan ijasah. Konon, di kampus-kampus itu, kau
bisa mendapat ijasah dan nilai IPK luar biasa tanpa perlu hadir di bangku
kuliah.
Membicarakan
pendidikan di negeri ini memang selalu menggelikan. Selalu ada cerita lucu yang
membuat kita tertawa-tawa. Betapa gelar akademik adalah sebuah kebanggaan,
bahkan oleh orang-orang yang tak mencintai pendidikan. Akibatnya, banyak juga
yang memperdagangkan pendidikan, menjadikannya lahan bisnis. Saya mencoba
memposisikan diri di pihak mereka. Betapa malunya saya jika punya gelar doktor
tapi tak memahami apa yang dibicarakan orang-orang di sekitar saya. Tak
membaca buku, tak tahu isu lingkungan, tak punya kepedulian sosial. Tapi saya
tahu, kesalahan tidak sepenuhnya ada di pihak mereka, pembeli gelar itu. Sepertinya
sistem pendidikan di negeri ini sudah amburadul sejak awal.
Makassar, 30 Oktober 2015
0 komentar:
Post a Comment